Sejak revolusi industri dimulai pada abad ke 17, suhu di permukaan bumi mengalami kenaikan rata-rata sebesar 1,4°C – 4°C akibat meningkatnya konsentrasi zat karbon di atmosfir. Hal ini memicu terjadinya perubahan iklim secara drastis. Naiknya suhu menyebabkan timbulnya perbedaan tekanan udara yang besar di beberapa daerah sehingga memicu terjadinya badai serta ombak yang ekstrim. Pemanasan global diketahui juga menyebabkan cairnya es di daerah kutub hingga menimbulkan kenaikan rata-rata permukaan air laut di seluruh dunia (Wikipedia).
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari perairan dan pulau-pulau kecil dengan ukuran kurang dari 200 km2. Sebagian besar pulau-pulau tersebut bahkan berukuran sangat kecil atau kurang dari 20 km2 dengan ketinggian elevasi kurang dari 3 meter sehingga rawan terhadap abrasi (Kompas, 3 Desember 2007).
Akibat perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut, maka diperkirakan sekitar 2000 pulau di Indonesia pada tahun 2030 akan tenggelam. Dari hasil pemantauan tinggi permukaan laut antara tahun 1925-1989, rata-rata tinggi muka air laut di Indonesia mengalami peningkatan. Di Jakarta, kenaikan muka air laut diperkirakan sekitar 4,38 mm/tahun, Semarang 9,27 mm/tahun dan Surabaya sebesar 4,38 mm/tahun. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut akan sangat merugikan, terutama jika pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai tapal batas wilayah terluar dari negara RI (Kompas, Kamis 17 Januari 2008).
Ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove dan vegetasi pantai lainnya merupakan pertahanan alami yang efektif mereduksi kecepatan dan energi gelombang laut sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. Jika abrasi pantai terjadi pada pulau-pulau kecil yang berada di laut terbuka, maka proses penenggelaman pulau akan berlangsung lebih cepat (Dahdouh-Guebass, et al, 2005).
Vegetasi Pantai
Vegetasi pantai merupakan kelompok tumbuhan yang menempati daerah intertidal mulai dari daerah pasang surut hingga daerah di bagian dalam pulau atau daratan dimana masih terdapat pengaruh laut. Secara umum kelompok tumbuhan darat yang tumbuh di daerah intertidal atau daerah dekat laut yang memiliki salinitas cukup tinggi, dapat dibagi menjadi 3 (Noor et al, 1999) :
- Mangrove Sejati : adalah merupakan kelompok tumbuhan yang secara morfologis, anatomis dan fisiologis telah menyesuaikan diri untuk hidup di daerah sekitar pantai. Mangrove tumbuh pada substrat berpasir, berbatu dan terutama berlumpur. Ciri khas dari kelompok tumbuhan ini adalah adanya modifikasi akar yang sangat spesifik untuk mengatasi kekurangan oksigen, sebagai penopang pada substrat yang labil, memiliki kelenjar khusus untuk mengeluarkan kelebihan garam serta memiliki daun berkutikula tebal untuk mengurangi penguapan. Jenis tumbuhan ini didominasi oleh genera Rhizophora, Avicenia, Brugueira, Sonneratia.
- Mangrove Ikutan (Associated Mangrove) : adalah kelompok tumbuhan yang ditemukan tumbuh bersama-sama dengan komunitas mangrove, tetapi tidak termasuk mangrove karena tumbuhan ini bersifat lebih kosmopolit dan memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap perubahan faktor fisik lingkungan seperti suhu, salinitas dan substrat . Jenis tumbuhan yang tergolong mangrove ikutan misalnya : waru laut, pandan, ketapang, jeruju dan lain-lain.
- Vegetasi pantai Non Mangrove : vegetasi pantai non mangrove umumnya banyak ditemukan pada daerah pantai dengan substrat yang didominasi oleh pasir. Kelompok tumbuhan ini dicirikan oleh adanya zonasi bentuk pertumbuhan (habitus) secara horizontal dari daerah intertidal ke arah darat yang terdiri dari : tumbuhan menjalar, semak, perdu dan pohon. Semakin ke darat, keragaman jenis dan habitus pohon akan semakin besar. Jenis vegetasi pantai non mangrove umumnya terdiri dari : tapak kambing, rumput angin, santigi, ketapang, cemara laut dan kelapa. Tumbuhan ini membentuk zonasi yang khas.
Di daerah pasang surut, vegetasi didominasi oleh tumbuhan perintis yang menjalar atau rumput-rumputan tertentu dan dikenal sebagai “Formasi Pes-Caprae”. Dinamakan demikian karena mengacu pada tumbuhan menjalar tapak kambing (Ipomoea pes-caprae) yang sangat dominan di daerah tersebut. Kelompok tumbuhan ini diikuti oleh kelompok tumbuhan semak dan perdu yang berukuran lebih besar dan berada di belakang vegetasi perintis (ke arah darat). Kelompok tumbuhan ini disebut “formasi Barringtonia” yang penamaannya juga mengacu pada salah satu jenis tumbuhan yang umum ditemukan di di daerah ini, yaitu : Barringtonia asiatica.
Gelombang merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem yang berada di daerah pesisir pantai dan laut. Pengertian gelombang sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan, mengingat begitu kompleksnya proses-proses yang berlangsung dan begitu banyaknya faktor lingkungan yang terlibat. Namun secara sangat sederhana dapat dikatakan bahwa gelombang adalah merupakan rambatan atau perpindahan energi melalui badan air.
Gelombang laut memiliki kekuatan besar yang dapat menyebabkan abrasi di tepi pantai, terutama Tsunami. Secara ekologi gelombang laut tidak selamanya bersifat merugikan karena gelombang laut memiliki peran yang sangat penting untuk menyebarkan biji/buah/benih tumbuhan pantai seperti benih kelapa, buah mangrove, buah pandan dan lain-lain. Besar kecilnya gelombang di suatu daaerah/pulau, selain ditentukan oleh bentuk dan topografi pantai juga ditentukan oleh posisi pulau atau daerah tersebut. Daerah yang secara langsung berada di tengah lautan terbuka atau ditepi samudera yang besar akan memiliki ombak yang lebih kuat. Sedangkan pulau yang berada dekat daratan utama atau di daerah bagian dalam kepulauan seperti laut Jawa akan memiliki ombak yang lebih tenang.
Abrasi
Abrasi di laut adalah merupakan proses terjadinya pengikisan daratan (erosi) oleh gelombang sehingga menyebabkan hanyutnya substrat dan berkurangnya luas daratan. Jika proses erosi berlangsung di pulau-pulau yang relatif kecil dengan vegetasi yang terbatas, maka menyebabkan pulau tersebut tenggelam.
Indikasi terjadinya abrasi dan penciutan luas pulau-pulau kecil dapat ditemukan di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Kepulauan Spermonde terdiri dari 207 pulau-pulau kecil yang terletak di Pantai Barat Kota Makassar. Luas wilayah diperkirakan sekitar 14.000 km2. Hutchinson (1945) dalam MCRMP 2006 menyatakan bahwa wilayah Kepulauan Spermonde dapat dibagi menjadi 4 zona, yaitu : zona dalam (inner zone), zona tengah bagian dalam (inter middle zone), zona tengah bagian luar (outer middle zone) dan zona luar (outer zone). Zona dalam didominasi oleh substrat berlumpur, banyak run off air tawar dan sedimentasi dari daratan. Pada zona ini umumnya didominasi oleh mangrove terutama dari genus Rhizophora. Zona tengah umumnya memiliki substrat campuran antara pasir dan lumpur, sehingga mangrove masih dapat ditemukan dalam jumlah sedikit. Sedangkan Zona luar terdiri dari substrat pasir putih yang didominasi oleh vegetasi pantai. Pada zona ini jenis mangrove tidak ditemukan (MCRMP, 2006).
Ombak besar sering terjadi di daerah zona luar, terutama pada saat musim Barat dan seringkali menyebabkan tumbangnya pohon-pohon yang cukup besar ditepi pantai, terutama pohon kelapa dan cemara laut . Aktivitas penduduk yang menebang vegetasi pantai untuk kayu bakar, bahan bangunan dan lain-lain menyebabkan hilangnya tumbuhan pelindung di daerah pesisir. Penduduk di Kepulauan Spermonde umumnya membangun rumah di tepi pantai dan “memarkir” perahu tempel di daerah pasang surut. Akibatnya, jenis vegetasi perintis seperti Ipomoea pes-caprae dan jenis lainnya hilang karena tertimpa lunas perahu dan terinjak-injak nelayan. Jika vegetasi perintis tumbuh, maka nelayan akan segera menyingkirkannya karena menganggap vegetasi pantai sebagai tanaman liar yang tidak berguna. Padatnya populasi penduduk seringkali juga menyebabkan hilangnya vegetasi pantai sehingga pulau-pulau kecil tersebut amat rentan terhadap abrasi akibat naiknya paras air laut dan tingginya gelombang pada musim Barat. Satu-satunya tempat yang paling hijau dan padat dengan vegetasi di daerah pulau-pulau kecil yang memiliki banyak penduduk adalah tempat pemakaman (MCRMP, 2006).
Peran Vegetasi Pantai Sebagai Peredam Gelombang
Vegetasi pantai memiliki peran yang sangat penting sebagai pencegah abrasi. Tumbuhan pantai umumnya memiliki akar yang panjang dan kuat sehingga mampu menahan substrat dari hempasan gelombang (Desai, 2000). Demikian pula saat timbulnya tsunami, vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk meredam energi gelombang yang sangat besar. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai sifatnya relatif dan ditentukan oleh banyak faktor. Kerapatan vegetasi, ketebalan vegetasi dari pantai ke arah darat, topografi pantai, karakteristik substrat serta kondisi ekosistem terumbu karang dan lamun sangat menentukan efektifitas vegetasi pantai dalam meredam gelombang. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai umumnya berkisar antara 0 – 30 % . Namun pada daerah pantai yang sama sekali tidak terjamah oleh manusia (alami) dengan kondisi ekosistem terumbu karang, lamun dan tutupan vegetasi pantai yang sangat baik maka efektifitas peredaman energi gelombang dapat mencapai 90 %. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai juga bergantung pada kemampuan vegetasi pantai untuk mereduksi energi angin. Pada kondisi alami, zonasi yang utuh dari vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk membelokkan arah angin ke atas, sehingga mencegah tumbangnya pohon besar yang berada di tengah pulau. Dengan demikian, bentuk zonasi vegetasi pantai yang utuh juga memiliki peran secara tidak langsung dalam mencegah abrasi (Desai, 2000). Selain sebagai peredam abrasi, vegetasi pantai juga memiliki fungsi sebagai penahan intrusi air laut, penjebak zat hara, mereduksi energi angin dan badai
Usaha untuk melindungi daerah pantai dari ancaman gelombang dilakukan dengan pembangunan fisik seperti pembuatan pondasi, talut, tembok penahan ombak, seawall, groins, jetties dan breakwater. Upaya ini, selain membutuhkan biaya pembangunan yang sangat tinggi, juga membutuhkan waktu yang relatif lama serta kontrol dan pemeliharaan yang ketat sehingga tidak dapat diterapkan untuk negara berkembang seperti di Indonesia. Selain itu, pembangunan fisik ini juga berakibat pada berubahnya morfologi garis pantai yang secara langsung mempengaruhi ekosistem yang ada di daerah tersebut (Mimura N, 1999).
Upaya untuk melindungi daerah pantai dari ancaman abrasi atau untuk merehabilitasi pantai akibat tsunami seperti di Aceh dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi pantai. Untuk kondisi lingkungan yang sesuai, penanaman mangrove dapat dilakukan seperti pada substrat berlumpur. Namun untuk daerah pesisir yang memiliki substrat berpasir, penanaman dengan vegetasi pantai sangat dianjurkan karena vegetasi pantai memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, murah dan mudah diperoleh serta memiliki kemampuan yang cepat untuk pulih kembali apabila terjadi bencana.
Salah satu hal yang menyebabkan belum diliriknya vegetasi pantai sebagai pelindung pantai adalah karena vegetasi pantai dianggap tidak memiliki nilai ekonomi sehingga masyarakat dan pemerintah setempat enggan melakukan penanaman. Penelitian lebih lanjut dan sosialisasi terhadap potensi ekonomi dari vegetasi pantai perlu dilakukan untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah daerah setempat tentang manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari vegetasi pantai.
Jenis Vegetasi
|
Manfaat Ekonomi
|
KelapaCocos nucifera | Virgin Coconut Oil, Nata De Coco, Minyak Goreng, GulaKelapa, Arang, Atap, Sapu Lidi, Keset kaki dan lain-lain |
Ketapang Terminalia catappa | Biji dimakan, tanin untuk menyamak kulit, obat rematik |
Tapak Kambing Ipomoea pes-caprae | Biji untuk obat sakit perut, kram dan reumatik (obat luar) |
Babandotan Ageratum conizoides | Obat diare, disentri dan penguat syaraf |
Sesuvium portulacastrum | Daun dapat dimakan untuk sayur |
Kacang Laut Canavalia maritima | Buah seperti kacang polong dapat dimakan untuk sayur |
Cemara Laut Casuarina equisetifolia | Biofuel (resin), kayu untuk bangunan, bonsai taman |
Sukun Artocarpus communis | Bahan makanan, kayu bakar, pengikat air tawar |
Petai Cina Leucaena glauca | Bahan makanan, makanan ternak, pupuk |
Vitex negundo | Obat cacing dan sakit kepala |
Zornia diphylla | Bahan makanan ternak |
Eragrostis unioloides | Bahan makanan ternak |
Vitex pubescens | Kayu untuk bahan baku pembuatan perahu |
Mete Anacardium occidentale | Aneka makanan olahan, getah untuk bahan pernis dan tinta |
Pandan Pandanus tectorius | Pewarna, penyedap makanan, pembungkus makanan, tikar |
Seruni Wedelia biflora | Air perasan daun untuk obat sakit perut dan ibu bersalin |
Jarong Stachytarpheta jamaicensis | Obat batu ginjal, bersih darah, rematik, infeksi |
Buah Nona Morinda citrifolia | Akar sebagai bahan pewarna, buah sebagai obat dll |
Waru Laut Hibiscus tiliaceus | Akar untuk obat demam, kayu untuk bagian tertentu perahu |
Putat Barringtonia asiatica | Buah untuk racun ikan, tanaman hias dan peneduh jalan |
Jarak Ricinus communis | Miyak castor yang mahal, sebagai bahan obat kulit dan infeksi |
Daftar Pustaka
- Dahdouh-Guebas, F., L. P. Jayatissa, D. Dinitto, J. O. Bosire, D. Lo Seens and N. Koedam. 2005. How effective were mangroves as a defence agains the recent tsunami. Cuurent Biology Vol. 15 (12) : 443-446.
- Desai, K. N. 2000. Dune vegetation : need for reappraisal. Coastin. A Coastal Policy Research Newsletter. No. 3 September : 2000.
- Harian Kompas. Edisi Kamis 17 Januari 2008. Penerbit PT. Kompas Media Nusantara.
- Marine and Coastal Resources Management Project (MCRMP) 2006. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Detail Lokasi Terpilih Pulau Kapoposang.
- Mimura, N. 1999. Vulnerability of Island Countries in The South Pasific to Sea Level Rise and Climate Change. Climate Research Vol. 12 : 137-143.
- Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA dan Wetlands International. Indonesia Programme.
- Wikipedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Breakwater_(structure). Diakses tanggal 20 Januari 2008.
0 komentar:
Posting Komentar